Oleh: Khanif
Alkahfi
Di dunia ini masih banyak kesalah pahaman pemaknaan suatu kata semua itu
tidak bisa dilepas dari dimana kata itu diproduksi atau dalam sastra bagaimana
pengunaan diksi mempengaruh sebuah arti. Hal itu sama ketika orang Islam
mencoba mengartikan kata hikmah atau falsafah banyak perbedaan
pendapa,t tapi kebanyakan dari mereka cenderung mendifinisikan kata tersebut
berdasarkan perspektifnya sendiri-sendiri. Dan persoalan ini menjadi minat
utama berbagai mazhab pemikiran Islam terutama sepanjang mazhab-mazhab Islam
dikaji.
Perdebatan dari berbagai kalangan entah filosof, teolog, maupun sufi
terhadap permasalahan diatas cukup beragam, dari periode keperiode lain. Ibn
Arabi (sebagai seorang sufi) menyebut kebijaksaan yang terpapar melalui setiap
manifestasi (pengejawantahan) logos
sebagai hikmah. Dari Sebagai besar
kalangan mutakallimun seperti Fakhr
Al-Din Al-Razi, mengklaim kalam dan
bukan falsafah-lah yang
dimaksud dengan hikmah itu. Ibn
Kaldun menegaskan padangan ini ketika menyebut kalam mutakhir sebagai filsafat
atau hikmah. Akan tetapi disini akan
lebih diarahkan kepandangan filosof Islam, seperti yang kita tahu bahwa kata hikmah atau falsafah merupakan adopsi dari bahasa Yunani yang diterjemahkan ke
bahasa Arab kadang dengan sedikit modifikasi. Contoh kata Al-falsafah yang
berasal dari kata filsafat yang artinya pengetahuan tentang segala yang ada qua maujud-maujud (asyya’ al-maujudah bi ma hiya maujudah).
Definisi-definisi tentang falsafah
oleh para filosof Islam coba di identifikasi dengan Qur’an hikmah, karena mereka percaya bahwa
asal-usul hikmah berasal Ilahi. Abu
Ya’qub Al-Kindi filosof Islam pertama dalam bukunya Fi Al-Falsafah Al-Ula mengatakan filsafat adalah pengetahuan
tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak
filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran dan dalam
pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi
membenarkan hal tersebut namun ia menambahkan perbedaan antara filsafat yang
didasarkan pada kepastian atau keyakinan, berdasarkan pada demonstrasi dan
didasarkan pada opini atau dugaan, berdasarkan pada dialektika dan sofistri.
kemudian menegaskan bahwa filsafat adalah induk ilmu-ilmu dan mengkaji segala
yang ada. Ibn Sina tidak menafikan definisi-definisi pendahulunya meskipun
membuat ciri dan presisi tertentu pada definisinya sendiri. Dalam Uyun Al-Hikmah, Ibn Sina berkata,
Al-Hikmah (yang baginya berarti sama dengan filsafat) adalah usaha untuk
mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoritis dan praktif berdasarkan
ukuran kemampuan manusia. Namun diahir hayatnya ketika ia membedakan filsafat
peripatetic dengan apa yang kemudian disebut sebagai “filsafat Timur” yang
bukan didasarkan pada rasionalisasi semata melainkan juga mencakup pengetahuan
yang terealisasikan dan pengetahuan yang mengantarkan pada hikmah al-isyraq-nya Suhrawardi.
Bahmanyar salah satu murit Ibn Sina yang paling menonjol, menulis
pengantar pada tahshil-nya.
Tujuan ilmu-ilmu filsafat adalah pengetahuan tentang wujud-wujud. Hal ini
mengulang dictum Aristotelian bahwa filsafat adalah studi tentang qua wujud-wujud.
Pemikiran berbeda muncul dari kalangan Isma’iliyyah dan
Hermetiko-Pythagorean yang berkembang sejajar dengan filsafat Peripatetik yang
terkenal. Tapi dengan perspektifnya berbeda, dimana pemikirannya lebih
menekankan hubungan antara aspek teoritis filsafat dan dimensi praktisnya,
antara berfikir filosofis dan menuntun ke kehidupan bijak. Pertalian ini bisa
dilihat pada setiap mazhab Islam awal. Ikhwan Al-Shafa’ yang hidup pada ke-4 H/
ke-10 M, menulis, “permulaan filsafat (falsafah) adalah cinta pada ilmu,
pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran
kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan sesuai dengan
pengetahuan itu”.
Periode baru filsafat Islam dibawa Suhrawardi dengan melahirkan perspektif
baru dalam Islam, ia lebih suka mengunakan istilah hikmah al-isyraq daripada falsafah
al-isyraq, Suhrawardi menerjemah hikmah
al-isyraq ke dalam bahasa prancis, Henry Corbin, lebih suka memakai
istilah theosophie (teosofi) daripada filsafat untuk menerjemahkan
istilah hikmah ke dalam bahasa Prancis sebagaimana Suhrawardi dan kemudian
Mulla Shadra (dengan teosofi transenden-nya). Istilah “teosofi” mendapat
konotasi buruk dalam bahasa-bahasa Eropa khususnya Inggris yang dikaitkan
dengan okultisme (kepercayaan kepada kekuatan ghaib) dan pseudo-esoterime.
Berangkat dari kasus ini pula orang-orang seperti Suhrawardi hanya dianggap
sebagai Hukama’ daripada Filosof.
Suhrawardi dan semua filosof Islam sesudahnya memandang hikmah pertama-tama dan terutama sebagai
al-hikmah al-ilahiyyah (secara
harfiah, kebijaksanaan Ilahi atau teosofi)yang harus direalisasikan dalam sosok
utuh manusia dan bukan hanya secara mental. Derajat tertinggi hikmah mensyaratkan kesempurnaan daya
rasional dan kesucian jiwa. Titik tekannya adalah perlu sebuah keseimbangan
diantara keduanya. Mulla Shandra mengatakan “Falsafah adalah upaya
penyempurnaan atas jiwa manusia dan dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia
melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana
adanya, dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas
dasar demontrasi (burhan) dan bukan diturunkan melalui opini atau dugaan” melalui hikmah dia menambahkan dalam
Al-Syawahid Al-Rububiyyah-nya manusia
menjadi sebuah dunia yang intelijibel (yang dapat dipahami) yang mirip dengan
dunia obyektif dan serupa dengan tantangan eksistensi universal. Disini dia
menekankan definisi hikmah bukan hanya pengetahuan teoritis dan “menjadi sebuah
dunia yang intelijibel (yang dapat dipahami) yang mirip dengan dunia obyektif”
melainkan juga keterceraian dari nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran
mateariilnya atau yang sering disebut sebagai tajarrud atau katarsis.
oleh kaum Isyraqi dan kamu sufi hal itu disebut sebagai dimensi iluminasi (pencerahan)
dan realisasi yang diimplikasikan.
Perhatian pajang filosof Islam tentang filsafat sebagai realitas yang
mengubah pikiran sekaligus jiwa, serta realitas yang pada hakikatnya tidak
pernah bisa dipisahkan dari kemurnian dan spiritual tertinggi yang merupakan
implikasi dari istilah hikmah dalam
kontek Islam.
Comments
Post a Comment