Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Edisi : Soft Cover
ISBN-13 : 9789799731272
Halaman : 134
perensensi : Khanif Rosidin
“Ah, Saudara, manusia ini kenal satu sama lain,
tapi tidak kenal dengan dirinya sendiri....” Pram
Di tahun
1950-an tradisi menjodohkan anak masih sangat kentara, Midah perempuan yang
berasal dari keluarga kaya dan terhormat pun juga mengalaminya. Bapaknya, Hadji
Abdul adalah seorang yang taat Agama namun tidak Humanis, lagu Umi Kalsum
(Biduan Mesir) merupakan lagu wajib sedang lagu-lagu lainnya adalah lagu Haram,
baginya. Nyonya Abdul sama seperti kebanyakan perempuan lainnya, seorang yang
tidak berani melawan perintah sang suami, seorang pendiam meski dipengujung
cerita saat kebangkrutan melanda perusaan suaminya ia berubah menjadi seorang
perempuan yang tegar dan pekerja keras.
Midah
merupakan anak pertama, kasih sayang berlebih yang diberikan orang tuanya
membuatnya tumbuh sebagai anak yang manja. Hal itu sudah dimulai dari ia baru
melihat dunia. Pesta besar-besaran sebagai bentuk syukur pada Tuhan dilakukan
saat Midah lahir hampir semua kenalan Hadji Abdul di Undang, seminggu rumahnya
pun disulap menjadi siang.
Tetapi semua
berubah saat ibunya melahirkan lagi, adik-adiknya. Midah pun merasa kalau orang
tuanya sudah tidak sayang lagi padanya, akibatnya ia sering keluar malam dan
bergaul dengan para pengamen keliling, penyanyi kroncong. Lambat laun ia pun
suka dengan lagu-lagu kroncong. Di belinya beberapa piringan hitam lagu
kroncong, tak butuh waktu lama, ia pun hafal. Kebosanan pada lagu-lagu Umi
Kulsum membuatnya semakin giat membeli piringan-piringan hitam lagu kroncong.
Ibunya hanya diam tak peduli, sampai ketika Hadji Abdul mempergokinya
mendengarkan lagu kroncong, lagu haram. Saat kepergok ayahnya,
piringan-piringan hitam lagu kroncong kesayangannya di banting, hancur lebur.
Bahkan hadji Abdul yang sangat memanjakanya pun menamparnya, disini ia
coba minta belas kasihan ibunya namun ibunya tak bisa berbuat apa-apa, di
hadapan suami ia hanya seorang istri yang tak memiliki kekuatan.
Tidak cukup
itu saja, Hadji Abdul memutuskan untuk menikahkan Midah dengan Hadji Terbus,
laki-laki yang berasal dari Cibatok, desa ayahnya, berharta, dan taat pada
agama. Pernikahan yang berlandas keterpaksaan ini tak bisa bertahan lama, hanya
tiga bulan. Midah memutuskan untuk pergi dari rumah suaminya setelah mengetahui
bahwa ia bukanlah istri pertama Hadji Terbus. Ia pergi dengan perut berisi
nyawa, Hamil.
Paras yang
cantik, serta ingatan akan lagu-lagu Kroncong menjadi senjata utama yang ia
miliki untuk mengarungi kerasnya hidup di jalanan kota Jakarta. Ia pun mencari
teman-temannya, kelompok pengamen kroncong keliling. Dari jalan ke jalan dari
restoran kerestoran sudah ia lakukan untuk menemukan temannya. Namun selalu
dengan hasil yang sama, mengecewakan. Satu-satunya kekuatan yang ia miliki
hanya anak dalam kandungannya, setiap kelelahan datang dielusnya perut, entah
sudah berapa kali ia lakukan?
Di Pasar
Senen barulah ia temukan rombongan kroncong yang agak besar, mula-mula ia
mengikuti kemana saja kelompok itu pergi, dilihatnya bagaimana kelompok
kroncong itu kadang-kadang diangap hina oleh sebagian orang. Hal itu membuatnya
jijik untuk menjadi penyanyi kroncong. Tapi tidak ada cara lain, demi anakku !
semua akan aku lakukan ! teriak hatinya.
Tambah
siang, tambah jauh pula rombongan itu dari keramaian. Setiba di tempat sepi,
mereka berhenti untuk menghitung uang. Dari kejauhan Midah tetap mengawasi
mereka. Berharap bisa bergabung dalam rombongan. Seorang dari rombongan melihat
apa yang selama ini dilakukan Midah, ahirnya saat dirumah makan, sesindiran
menjadi awal percakapan antara Midah dan rombongan kroncong tersebut.
Mau ikut
dengan rombongan kami? Rois, Ketua rombongan mencoba menawarkan. Apalagi
vokalis kami sudah tua dan suaranya (Nini/vokalis) tak sebagus engkau.
Tambahnya menguatkan.
Midah
menganguk. Disini awal ia ikut dalam sebuah rombongan kroncong. Namun ia tak
mau mengenalkan nama aslinya. Dan sebutan Manis di pilih sebagai penganti
namanya.
Mulai dari
Restoran, toko, pasar, rumah warga sampai hajatan warga sudah pernah ia
menyanyi. Seperti jarum jam yang trus berputar, kandungan Midah pun semakin
besar sampai ia tak kuat untuk menyanyi. Berhenti menyanyi sama saja tak ada
penghasilan. Itulah yang paling ia takutkan. Anakku harus jadi manusia bebas!
Bebas! Lebih bebas daripada aku. Midah coba menguatkan dirinya sendiri.
Atas masalah
itu Rois memberi anjuran, lebih baik kamu menyanyi di Radio saja, aku punya
teman yang barangkali bisa membantumu...
Dari sana
Midah berkenalan dengan Ahmad seorang polisi yang juga mentornya dalam
menyanyi, ia juga mulai mengenal kembali Cinta setelah lama tak merasakannya.
Dan disini awal timbulnya masalah baru.
Anaknya
lahir sehat di Rumah Sakit. meski melahirkan di rumah sakit tak semudah yang ia
kira. Banyaknya orang yang mau melahirkan membuat ia tak dapat tempat. Maklum
saat itu Rumah sakit merupakan tempat langka tak seperti sekarang menjamur
dimana-mana. Tubuhnya lemas dan ia pun jatuh pingsan di rumah sakit. inilah
yang membuat para perawat terpaksa menerimanya. Dalam keadaan tubuh Belum sehat
ia di minta keluar.
Semakin hari
pekerjaan menyanyi di radio, kian padat. Sang anak, Rodjali mulai tak mendapat
kasih sayang dari ibunya. Tiap kali Midah kerja Rodjali selalu dititipin pada
Riah (Mantan pembantunya).
Kedua orang
tua Midah ahirnya tau setelah Riah bercerita kalau anaknya lari dari suaminya
dan sekarang menjadi penyanyi kroncong di sebuah Radio.
Kebaikan
Ahmad membuat Midah semakin jatuh hati padanya, Ahmad juga tertarik dengan
Midah, apalagi Midah cantik dan tubuhnya molek. Atas dasar cinta inilah mereka
melakukan hubungan intim. atas nama cinta! Midah pun mengandung.
Suatu malam
Midah menceritakan perihal kehamilannya pada Ahmad, tapi Ahmad tak percaya
kalau Midah mengandung, mengadung anaknya. Midah pun terpukul atas jawaban
Ahmad, ia lantas berucap, “Baiklah kalau kamu tak mau menikahiku, tapi tolong
akui ini adalah anakmu. Agar nanti setelah dewasa aku bisa menjawab pertanyaan
siapa bapaknya? Seorang polisi, anak satu-satunya dari keluarga terhormat” tapi
tetap saja Ahmad tak mau mengakuinya. Midah pergi dengan beca, matanya tak
henti-hentinya keluar air.
Manusia
tidak boleh menyerah pada kehidupan, dan kita tahu Midah memang kalah secara moral
dalam pertarungan hidup itu: menjadi penyanyi sekaligus pelacur.
Novel ini
mengambarkan ketengangan antara jiwa seorang humanis dan moralis. Seperti kaum
moralis rajin berzikir tapi sangat miskin citarasa kemanusiaan. Di satu sisi
Pram juga menegaskan kekuatan seorang perempuan yang tak mudah ditaklukan oleh
keganasan hidup, berjiwa besar dan berpribadi kuat dialah Midah.
Selamat
membaca dan mengapresiasi!
Comments
Post a Comment