Oleh: Khanif Rosidin
Rabu (18/07) awan tampak mendung dan
teduh sedari pagi, hingga malam datang menjemput. Hawa sejuk sangat terasa
seharian, walau sekarang masih musim kemarau. Terlihat beberapa orang menggunakan
sorjan warna hijau dan merah, membawa
seperangkat alat musik tradisional seperti drodog,
kendang, terbang, kempul,
seruling, rebab dan sebagainya. Mereka menata alat-alat tersebut di atas
Limasan Kaliopak. Tak lama kemudian, berdatangan pula rombongan Komunitas Tinghoa
yang segera menempatkan diri di atas panggung. Ya, mereka adalah para seniman
tradisi yang siap mendukung dan menghidupkan acara “Shalawatan dan Pengajian Menyambut
Bulan Ramadhan” yang diadakan pada malam itu oleh Pondok Pesantren Kaliopak,
Klenggotan, Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
Menurut M. Jadul Maula, “Acara ini
digelar dalam rangka mewujudkan rasa syukur menjelang datangnya bulan mulia,
Ramadhan tahun 1433 H, sekaligus ikhtiar ikut mengembangkan ukhuwah islamiyah, wathaniyah, dan basyariyah sesama manusia.” ujar
Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak ini. “Alhamdulillah, cuaca dan alam juga
ikut mendukung niat kita, dengan mendung dan sedikit rinai gerimis tadi malam,
ikut mendinginkan tubuh yang gerah dan mengurangi debu yang mengganggu. Jadi, mesti
disyukuri nikmat ini”, tambahnya.
Acara yang dimulai pukul 20.00 sampai
23.45 ini, dipandu oleh Rubiman, ketua ANSOR Piyungan, diisi dengan shalawat
kolaborasi antara Komunitas Shalawat Jawa dan Shalawat Tionghoa “Kuda Mas” Yogyakarta.
Kesenian binaan Pondok Pesantren Kaliopak, Shalawat Emprak, juga turut
memeriahkan acara ini. Untuk pengajiannya sendiri diisi oleh KH. Abdurrahman
(Pengasuh Majlis Ta’lim Istiqamah Piyungan).
Mereka semua berkumpul di Limasan.
Tampak sangat rampak-meriah dan
syahdu, apalagi saat lantunan Shalawat Nabi yang ditembangkan dalam bahasa dan
langgam kultur Jawa yang kental. Sungguh selaras antara suara penembang dengan irama
gamelan, yang sangat menenangkan jiwa. Ditambah, suara dalang yang membaca rawen (riwayat) yang berisi kisah
kelahiran Nabi, menguatkan pesan dan kesan performence yang tercipta. “Rasanya
seperti mengunjungi wayangan ya...”, bisik seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
kepada teman yang sedang khusyuk menyimak pertunjukan di sampingnya. Suasana
marak dan hangat yang membangkitkan jiwa-jiwa semakin memuncak, ketika kelompok
Shalawat Tionghoa menimpalinya dengan alunan komposisi musik dengan instrumen yang
khas dari negeri “padang rumput” Tiongkok, membuat dentum kagum dari ratusan pengunjung
yang memenuhi halaman pondok dan tepuk
tangan pun terus menggema. Terlihat, beberapa anak yang datang bersama ibunya
ikut “menari”, saking merdu dan
rancaknya irama yang dibawakan Shalawat Kolaborasi Jawa-Tionghoa itu. Dalam
musikal yang mengalir kreatif dan mengalun harmonis, perbedaan budaya justeru semakin meneguhkan kesatuan manusia, dan
religiusitas pun terasah dalam keriangan yang mencairkan doktrin-doktrin yang
beku.
Kyai Abdurrahman yang tampil memberikan
tausiyah di puncak acara, seperti menyempurnakan makna malam itu dengan
butir-butir mutiara hikmah yang dipetik dari hadits-hadits Nabi. Dengan gaya
penyampaian yang lugas dan dialogis, diselingi dengan humor-humor segar, satire dan ironi, juga ungkapan-ungkapan
otokritik terhadap masa lalunya sendiri yang mantan preman, beliau memberikan
pesan-pesan penting sebagai pedoman menjalani ibadah di dalam bulan Ramadlan. Penekanan diberikan kepada etika di dalam
relasi dengan sesama, menjadikan puasa sebagai latihan menjaga diri dari
tindakan-tindakan yang merugikan sesama dan merusak hubungan sosial seperti berbohong,
ngerasani, adu domba, sumpah Palsu
dan berselingkuh.
Hujan yang turun rintik-rintik saat
acara baru saja usai, seperti menggenapi suasana yang indah malam itu dengan
rahmat. Hujan membawa berkah pada tanah-tanah yang telah kering oleh kemarau
dan hati yang lelah oleh deraan tuntunan hidup sehari-hari.
Comments
Post a Comment