(NAW-ART) |
Secara umum sering
dikatakan bahwa pagelaran wayang kulit merupakan penceritaan ulang kisah-kisah
di dalam epos mahabharata dan dengan demikian menandai suatu fase di mana
bangsa Indonesia mengalami proses ‘indianisasi’. Benarkah demikian? Pengamatan
lebih mendalam memperlihatkan hal-hal yang tidak sederhana, karena sesungguhnya
lakon-lakon wayang Jawa mengembangkan alur cerita dan makna alegorisnya sendiri
yang menunjukkan kepribadian kita sebagai bangsa yang terbuka namun berdaulat
secara budaya.
Di sisi lain,
filsafat humaniora dan cultural studies
dari Barat yang dalam dekade-dekade terakhir ini juga sangat mempengaruhi para
akademisi dan budayawan kontemporer kita, banyak disebut-sebut oleh para ahli
sebagai output dari proses ‘ekstraksi’ terhadap ajaran vedanta di dalam epos
mahabharata, yang mana mereka memang berasal dari satu rumpun suku bangsa Aria.
Benarkah demikian, dan bagaimana hal
tersebut bisa terjadi?
Permasalahan-permasalahan
di atas akan diulas dalam Saresehan bertema “Epos Mahabharata, Lakon-Lakon
Wayang Jawa dan Filsafat Humaniora Barat: Dibaca Berdampingan” tanggal 10 November 2014. Pukul 20.00-22.30 di
Kompleks Pesantren Budaya Kaliopak.
Adapun narasumber
yang akan mengisi, yakni Dr. St. Sunardi (Dosen IRB, Univ Sanata Dharma
Yogyakarta), Dr. Holland C. Taylor (Spiritualis dan Ahli Sastra Jerman dari
Harvard University USA), M. Jadul Maula, serta mengundang para pakar dan dalang.
Kegiatan ini
merupakan salah satu rangkaian dari acara “Pekan Peringatan 11 Tahun Wayang
Sebagai Adikarya Pusaka Kemanusiaan Dunia (UNESCO 2003-2014)”.
Tulisan sy ini juga bisa dilihat di Wayangpedia.com
Comments
Post a Comment