Sebelas tahun yang lalu, tepatnya 7 November 2003, lembaga
kebudayaan PBB (UNESCO) mengakui Wayang Kulit sebagai “Masterpiece of Oral and
Intangible Heritage of Humanity”. Pengakuan terhadap wayang tersebut semakin
menambah daftar khazanah intelektual dan seni tradisi orang-orang Indonesia
yang sudah diakui dunia.
Pengukuhan
UNESCO disatu sisi tentunya menjadi semacam “angin segar” dan ghiroh bagi
kalangan yang selama ini bergiat dalam dunia wayang, namun disisi lain, menjadi
ironi karena masih banyak kalangan, terutama anak-anak muda di kalangan santri
dan mahasiswa, masih kesulitan memahami apa dan bagaimana mengapresiasi wayang
tersebut, meski sebenarnya mereka memiliki keinginan untuk mencintai (kembali)
terhadap wayang. Kesulitan inilah yang kemudian menjadi hambatan besar dalam
menikmati, dan sering menjadi alasan yang mematikan animo mereka terhadap
wayang. Hambatan lain, adalah masih adanya kesalahpahaman dan stigma di
kalangan agamawan bahwa pagelaran wayang kulit bertentangan dengan nilai-nilai
Islam.
Sebagaimana yang kita ketahui, wayang kulit merupakan seni tradisi
yang sebetulnya sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Intensitas kehadirannya pun cukup tinggi dalam berbagai daur penting kehidupan –pernikahan,
khitanan, seremoni khusus seperti peringatan kemerdekaan, merti desa– menjadikan
wayang sangat dekat dengan realitas sosial masyarakat. Namun dewasa ini
pemahaman dan penghayatan terhadap wayang cenderung mengalami kemerosotan. Oleh
karena itu, jika pengakuan UNESCO terhadap wayang kulit hanya dimaknai sebagai
peringatan rutinan semata, maka tentu ini akan menjadi sia-sia.
Perlu sebuah upaya keras dan berkelanjutan utuk mengembangkan
wayang sehinga dapat menumbuhkan, mewadahi, dan meningkatkan daya apresiasi
anak muda (khususnya kaum santri) terhadap pagelaran wayang. Selain itu, upaya
semacam itu juga diharapkan dapat mendekatkan lagi wayang dan dimensi-dimensi
lain dalam kehidupan kontemporer kita, khususnya di kalangan agamawan.
Menyatukan kembali kaum santri dan abangan.
Salah satu Pesantren yang selama ini peduli tentang wayang adalah Pesantren Kaliopak (FB; Pesantren Kaliopak) Yogyakarta. Semoga akan tumbuh Pesantren-Pesantren Kaliopak Selanjutnya.
Pada akhirnya, upaya tersebut diharapkan dapat menjawab problem
berkembangnya intoleransi dan radikalisasi dalam kehidupan beragama di tanah
air, dengan mendekatkan lagi internalisasi keberagamaan anak-anak muda dengan
nilai-nilai budaya dan tradisinya sebagai penopang tegaknya karakter dan
jatidiri bangsa kita.
Comments
Post a Comment