IDEOLOGI PENGEMIS


IDEOLOGI PENGEMIS
Sewaktu saya masih semester satu saya selalu jalan dari kos menuju kampus (di Jogjakarta) maklum sama orang tua saya tidak di izinkan bawah motor ,perjalanan dari kos menuju kampus berjarak kira-kira 500 meter , saya harus melewati jalan raya. dulu arus lalu lintas tak sepadat seperti hari-hari ini jadi perjalanan bisa di nikmati bahkan terasa menyenangkan.
Namun yang membuat saya gelisah adalah semakin maraknya orang yang mengais uang dengan cara mengemis di lampu merah disini saya mengartikan pengemis sebagai orang yang ingin mendapatkan uang dengan tanpa susah payah meskipun nantinya juga mengemis  juga dengan susah payah.
Di perempatan sebelah utara kampusku mereka (pengemis) biasanya memulai mengemis antara jam 07.00-17.00 yang membuat saya miris adalah banyak  diantara mereka yang masih berumur antara 10-16 tahun saya mencoba memahami femenomena tersebut dengan meidentifikasi gejala-gejala  mengapa seseorang menjadi pengemis disini :
Penelitian tentang pengemis oleh Dr. Engkus Kuswarno (Penelitian Konstruksi Simbolik Pengemis Kota Bandung ) menyebut ada lima ketegori pengemis menurut sebab menjadi pengemis, yaitu:

1. Pengemis Berpengalaman: lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab).
2. Pengemis kontemporer kontinyu tertutup: hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.

3. Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut.
4. Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini.
5. Pengemis rerencana: berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.    
Dari uraian sebab-sebab seseorang menjadi pengemis diatas saya mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya seorang menjadi pengemis bukan karena miskin atau tidak mempunyai pekerjaan namun jauh dari itu adalah karena orang tersebut sudah menjadikan tindakan mengemis sebagai ideologi (baca;Idiologi Pengemis).
Saya ambil sebuah kasus ada seseorang remaja yang tinggal di daerah sekitar bataran kali sebut saja Daniel (Nama samaran), di lingkungannya Daniel bisa di bilang orang mampu bahkan sedikit kaya’ di banding warga lainnya dia memiliki beberapa Motor  dengan model/tipe baru . Setiap pagi hari daniel menuju ke perempatan lampu merah tak jauh dari rumahnya, tentunya dengan pakaian yang kumal dan jelek serta tak lupa sebuah topi penutup kepala agar orang yang melintasi lampu merah merasa iba dan memberikan sebagaian uangnya.
Kegiatan itu di lakukan sampai sore terkadang cukup sampai siang  kalau di rasa sudah banyak yang di peroleh. Namun, selepas magrib penampilan daniel bisa di bilang berubah 180 derajat dengan pakaian model baru serta model rambut yang sudah di kasih warna (kuning kemerah-merahan) dia bagai anak gaul yang tak mengerti apa itu kehidupan jalanan.
Dari kejadian di atas saya berfikir bahwa diakui atau tidak idiologi pengemis sudah menjangkit sebagian besar masyarakat Indonesia.
Lantas bagaimana kita menyikapi persoalan tersebut, apakah kita akan acuh kalau ada seorang pengemis atau kita tetap memberi uang kepada mereka? Tentunya jawabannya tidak mudah di butuhkan diskusi-diskusi yang lebih intens namun setidaknya ada salah satu tawaran yang sudah banyak di terapkan oleh pemerintah yakni dengan cara memasang iklan yang berisi tentang “kalau memberi uang lebih baik pada lembaga sosial ” agar uang itu bisa di salurkan pada orang-orang yang memang membutuhkan. Tapi ini bukan jaminan uang itu akan sampai pada orang yang membutuhkan disinilah peran masyarakat sebagai pengontrol sangat di butuhkan.

Comments