Madre; Memanusiakan Biang



Judul Buku           : Madre
Penulis                  : Dee/Dewi Lestari
Penerbit                : Bentang Pustaka
Cetakan                 : II, Agustus 2011
Halaman               : 160 Halaman

Sebelumnya, Setelah saya buat status di Facebook, "Hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis yang bisa berubah seiring berkembangnya pemahaman kita. Namun, pertanyaanlah yang membuat kita terus maju" Kata Dee Lestari, dalam bukunya Madre. Seorang sahabat, Naura Nadhliyah atau nama agen neptunusnya, Noura Karmachamaleon (Nama agen merujuk pada novel/film perahu kertas yang sangat dia kagumi), katanya, " Buka Blog-nya Tansen. Seru. . . Benar-benar seperti nyata loh...." Komentar Noura. Tansen sendiri adalah salah satu tokoh dalam tulisan cerpen Madre.

Dari situ, saya mencoba nyari blog Tansen di Google, dan ketemu alamatnya http://tinyurl.com/a29a8ko setelah saya baca memang isinya sama dengan apa yang di tulis dalam cerpen yang berjudul Madre. Ku kirim pesan via Facebook, "Aku sudah buka dan baca blok Tansen, sang pencari ombak. Memang sama yang seperti dalam buku madre. tapi ada sesuatu yang ganjal. Buku madre sendiri diterbitkan tahun 2011. Sedangkan blog itu nge-post Madre 10 januari 2013. Apa yang saya bayangkan tentang tansen memang mirip dengan apa yang ada diblog itu. bahkan, komennya pun sama persis dengan yang digambarkan dee dalam Madre.
Bagaimana menurutmu?" Tulisku penasaran. Ini juga yang membuatku membaca ulang cerpen yang berjudul Madre.

Dua puluh menit berselang, pesan balesan masuk, "Itu blog yang baru dibuat skitar tahun 2012. Seiring dg dibuatnya akun tansen di twitter. Itu dalam rangka promo film yg bakal tayang di 2013." Demikian isi tulisan balesannya.

"Kamu memang layak jadi agen; agen yang pintar" balasku kagum. Dia memang tipe pembaca dan pengagum yang hebat semua karya @DeeLestari 

Oke, lanjut tentang buku Madre; kumpulan cerpen 

Bagi Dee (pangilan Dewi Lestari), "Sebagaimana lazimnya awal dari sebuah karya kreatif, saya kerap memulai proses berkarya dengan bertanya" begitu katanya, mengawali tulisan pengantar. "Bertanya tentang makna perubahan, kelahiran, kematian. Saya pun bertanya tentang makna Tuhan, cinta, kemerdekaan. Dan meski sudah banyak makna yang saya pertanyakan, masih terselip juga pertanyaan tentang relasi manusia; pasangan, sahabat, keluarga" tambahnya.

Saya akan bercerita cerpen yang berjudul Madre yang bagi saya adalah bab terbaik, dibanding 12 bab lainnya dalam buku ini. Cerita ada seorang laki-laki, namanya Tansen Roy Wuisan. Seorang lelaki yang senang dengan pantai dan blogger yang tinggalnya di Bali. Suatu ketika, siang hari, Tansen mendapat sepucuk surat, sepotong alamat dan selembar tiket pesawat. Tapi ada sesuatu yang lebih besar lagi bersembunyi didalam amplop bertuliskan nama lengkap dia. Warisan adalah judulnya, dan dia masih menerka seperti apa isinya. Hal ini menimbulkan gejolak dalam dirinya, antara percaya atau tidak, masih bingung apakah dia akan pergi ke Jakarta demi surat itu, yang ia sendiri tidak kenal dengan pengirimnya.

Tansen memutuskan pergi ke Jakarta, demi menjawab rasa penasarannya. Tempat pertama yang ia tuju adalah pemakaman seorang yang bernama Tan Sin Gie, wafat diusia 93 tahun, saat itu sedang sepi dan hujan lebat. Tansen sendiri tidak kenal dengan nama tersebut. Tiba-tiba seorang pria berkemeja kantoran berlari tergopoh, menutupi kepala dengan tas, berlari padanya dan bertanya, "Tansen?" tanyanya setengah berteriak.
Tansen hanya mengangguk.
Pria berkemeja itu langsung mengajak Tansen masuk ke dalam mobilnya, ternyata dia seorang advokat, yang diwasiati oleh Tan Sin Gie, segera pria tersebut memberikan sehelai amplop cokelat bersegel lilin merah.
Dan ternyata amplop itu berisi sebuah kunci dan secarik kertas yang tertulis sebuah alamat. Di sodorkan alamat itu ke advokat tadi, Tansen pun diantarkan ke alamat yang terterah pada kertas.

Mobil berhenti di depan sebuah ruko bekas toko tua tanpa plang, yang tampak tak terurus. Inilah awal Tansen bertemu dengan Pak Hadi, seorang laki-laki Cina tua berusia 80-an. Yang kemudian menceritakan tentang siapa sebenarnya Tansen. O, ya, Tansen sendiri sejak kecil sudah di tinggal kedua orang tua-nya; ibunya meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang yang berjiwa bebas. Apalagi kakek-neneknya, ia sama sekali tak kenal. Ia awalnya diurusin keluarga 'aki'nya, selanjutnya ia mampu hidup mandiri di Bali. Menjadi guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis kadang-kadang adalah pekerjaannya.

Pak Hadi, mengantar Tansen pada sebuah pendingin tua berwarna putih yang terkunci. Kuncinya sendiri ada di amplop yang di bawa Tansen. Inilah saat yang mendebarkan baginya, sebentar lagi dia akan tahu, apa warisannya.
Kulkas dibuka.... ternyata isinya Madre. Madre adalah adonan biang. Hasil perkawinan antara air, tepung, dan fungi bernama saccharomyses exiguus. 
Pikirannya semakin kacau balau, demi madre ia rela jauh-jauh ke Jakarta.
Semua diutarakan di dalam blog pribadinya.
Madre lahir atau dibuat pada 1941, jauh lebih tua dari ibunya. Bahkan, sanggup hidup lebih panjang dari penciptanya. Madre berasal dari bahasa Spanyol yang berarti ibu.
Postingan di blognya, mendapat respon dari pembacanya, Mei. Dari sini nantinya Tansen menemukan semangatnya untuk meneruskan usaha kakeknya, menjadi artisan (Pembuat roti) yang hebat, serta menemukan peri hidup.

Biang sendiri dipelihara layaknya seorang anak. Menjadi bagian dari keluarga. Proses memanusiakan adonan biang yang paling baik.
(Selengkapnya; silakan baca sendiri ya... )

Buku kumpulan cerpen ini, di dalamnya juga diselingi beberapa puisi. Gaya penyampaian yang bersahaja serta pengolahan kata yang indah, membuat saya penasaran, penasaran, dan penasaran. Sampai diahir membaca, saya baru sadar, ternyata saya habis membaca buku setebal 160 halaman.
Adapun hal-hal yang kurang seru adalah pada bab yang berjudul Have you ever? banyak pengunaan kata bahasa Inggris, bagi saya seperti dua sisi mata uang koin; disatu sisi baik, satu sisi satunya bisa membuat pembaca yang kurang pandai bahasa Inggrisnya bingung,

Terahir, sebagaimana yang dikatakan Sitok Srengenge, Dee sangat pandai mengkritisi perbedaan etnik, budaya, dan iman; bukan sebagai benih konflik sosial, melainkan menegaskannya sebagai harta karun yang tak berhingga nilainnya.

Selamat mengapresiasi karya !!!


Comments