Menggugat Hegemoni Bahasa Hegemon Yang Doktriner-Arbitrer


*Tulisan ini saya ambil dari catatan facebook-nya Agus Sunyoto II yang beliau posting 21 Januari 2013

Berbeda dengan pengajian rutin biasa, dalam kajian Ahad Wage pagi pesantren sufi memberi kesempatan ustadz Syai’un Mufasir, Lc, untuk memperkenalkan pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan ilmu hermeneutika. Dengan kepiawaian memainkan makna kata dalam filologi ustadz Syai’un Mufasir, Lc, menjelaskan bagaimana unggulnya penafsiran al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa non-Arab dengan pendekatan hermeneutika di mana yang digunakan sebagai contoh adalah bahasa Inggris.
    “Tidak semua bahasa bisa menafsirkan kosa kata bahasa Arab dengan benar,” kata ustadz Syai’un Mufasir, Lc, menjelaskan,”Kata Rabb, misal, tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Inggris, karena kata Rabb mengandung makna luas sebagai Creator, Planner, Owner, Sustainer, Organizer, Master, Provider, Cherisher, Giver of security. Itu sebabnya, dipilih kata yang dekat dengan makna Rabb, yaitu Lord. Itu sebabnya, menerjemahkan Surah Al-Fatihah ke dalam bahasa Inggris seperti ini: Alhamdulillahi robbil ‘alamiin – All  the praise and thanks be to Allah, the Lord of the universe (mankind, jinn and all the exists).”
    Setelah menguraikan berbagai perubahan makna kata dalam menafsirkan kosa kata Arab ke dalam bahasa Inggris, ustadz Syai’un Mufasir, Lc, mengharapkan para santri berkenan untuk mempelajari hermeneutika Al-Qur’an dengan usulan agar menjadikan Al-Qur’an berbahasa Inggris yang berjudul Translation of the meaning of the Holy Qur’an in The English Language sebagai buku pedoman. Tanpa tahu apakah semua hadirin setuju dengan pandangannya, ustadz Syai’un Mufasir, Lc, menyatakan kesediaan untuk menjadi pengajar hermeneutika Al-Qur’an di pesantren sufi.
     Guru Sufi selaku pemangku dan sekaligus pengasuh pesantren menanggapi kesediaan ustadz Syai’un Mufasir, Lc, untuk mengajar hermeneutika dengan ucapan terima kasih. Namun Guru sufi menegaskan bahwa sampai sejauh itu belum ada ide dan gagasan dari para pengelola pesantren untuk mengubah pelajaran tafsir Qur’an dengan hermeneutika. “Sejauh ini, kami semua masih meyakini keunggulan tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa lokal Jawa yang berpedoman pada kitab Tarjamah Tafsir al-Jalalain Bilughotil Jawy terbitan Dar al Fikr, Beirut, Lebanon,” kata Guru Sufi menegaskan kebijakan pesantrennya.
    “Tafsir Bahasa Jawa, Pak Kyai?” sahut ustadz Syai’un Mufasir heran.
    “Bukan hanya tafsirnya, tapi bahasa pengantar yang digunakan untuk menuntut ilmu pengetahuan pun adalah bahasa Jawa,” sahut Guru Sufi tersenyum.
    “Bahasa Jawa kan bukan bahasa ilmu, Pak Kyai?” tukas ustadz Syai’un Mufasir, Lc, heran.
    “Siapa bilang bahasa Jawa bukan bahasa ilmu?” sergah Guru Sufi memberi isyarat kepada para santri untuk mengeluarkan hidangan makanan dan minuman.
    “Apakah ada bukti bahwa bahasa Jawa bisa menjadi bahasa ilmu? Maksud saya, apakah bahasa Jawa pernah menjadi bahasa ilmu pengetahuan?” tanya ustadz Syai’un Mufasir, Lc.
    Guru Sufi mengangkat kitab Tafsir Jalalain ke atas sambil berkata,”Apakah Tafsir Al-qur’an Bilughotil Jawy ini bukan bukti bahwa bahasa Jawa sudah dan bahkan masih menjadi bahasa ilmu tafsir al-Qur’an?”
    Ustadz Syai’un Mufasir, Lc, manggut-manggut tak berkomentar.
    Guru sufi menurunkan kitab  Tafsir Jalalain dan kemudian menunjuk kepada kalender pesantren yang tergantung di dinding sambil berkata,”Apakah sampeyan akan mengatakan bahwa kalender yang disebut Tanggalan itu tidak menggunakan kosa kata Jawa? Meski kosa kata Arab seperti Senin (Isnin), Seloso (Tsalatsa), Rebo (Arba’a), Kemis (Khomsa), Jemuah (Jum’ah), Sabtu (Sab’a), dan Ahad digunakan untuk mengganti kosa kata Jawa kuno Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Saniscara dalam Saptawara, tapi dalam Pancawara masih menggunakan kosa kata Jawa seperti Paing, Pon, Wage, Legi, Kliwon. Begitu juga nama-nama Wuku, bulan, tahun, windu masih menunjuk pada pengaruh bahasa Jawa. Dan perlu sampeyan tahu, kalender Jawa akurasinya jauh lebih tinggi dibanding kalender Masehi, karena kalender Jawa selain berdasar musim (pranata mangsa), juga berdasar matematik dan astronomis.”
    Ustadz Syai’un Mufasir manggut-manggut berusaha memahami penjelasan Guru sufi.
    Ketika ustadz Syai’un Mufasir, Lc, akan mengajukan pertanyaan, Guru Sufi mendahului dengan mengangkat sekepal nasi ke atas sambil berkata,”Untuk menafsir suatu bahasa, dibutuhkan bahasa yang memiliki sifat terbuka, fleksibel, efisien, kaya makna, tetapi memiliki sistem baku. Dan bahasa yang memenuhi kriteria semacam itu, justru kita temukan pada bahasa Jawa dan bukan bahasa Inggris. Bahasa Jawa. Bukan Inggris.”
    “Apa buktinya, Pak Kyai?” sergah ustadz Syai’un Mufasir tidak terima.
    “Sampeyan lihat yang saya kepal ini apa?” tanya Guru sufi.
    “Sego.”
    “Apa bahasa Inggrisnya?”
    “Rice.”
    “Hmm, ketika masih kuning di sawah disebut apa ini dalam bahasa Jawa?”
    “Pari.”
    “Apa bahasa Inggrisnya Pari?”
    “Rice.”
    “Kalau Pari sudah diketam dan diikat lalu dijemur, disebut apa?”
    “Gabah.”
    “Apa bahasa Inggrisnya gabah?”
    “Rice.”
    “Kalau gabah sebutir disebut apa?”
    “Las.”
    “Apa bahasa Inggrisnya Las?”
    “Rice.”
    “Kalau gabah sudah dikupas kulitnya, apa namanya?”
    “Beras.”
    “Apa bahasa Inggrisnya Beras?”
    “Rice.”
    “Nah beras yang sudah masak seperti ini,” Guru sufi mengacungkan kepalan tangan ke atas,”Disebut sego yang dalam bahasa Inggris disebut Rice. Benar begitu, ustadz?”
    “Enghm benar, pak kyai.”
    “Kalau nasi sekepal ini diambil sebutir, apa nama sebutir nasi?”
    “Upo.”
    “Apa bahasa Inggrisnya Upo?”
    “Rice.”
    “Kalau nasi yang terkepal ini dijemur sampai kering, apa namanya?”
    “Karak.”
    “Apa bahasa Inggrisnya karak?”
    “Rice.”
    “Saya kira, dengan satu perbandingan ini saja kita sudah bisa mengambil simpulan betapa kayanya bahasa Jawa dalam memaknai sesuatu jika dibanding bahasa Inggris. Jadi dengan kekayaan kosa kata, keleluasaan memaknai  dan fleksibelitas dalam menafsirkan sesuatu, kami yakini bahasa Jawa lebih tepat dan mumpuni untuk menafsirkan al-Qur’an. Kami tetap yakin bahwa bahasa kami yang selama ini dianggap bahasa primitif yang tidak berkembang sejatinya adalah bahasa yang lebih kaya dalam menafsirkan Kitab Suci dan memahami ilmu pengetahuan,” kata Guru Sufi tegas.
    “Itu benar, pak kyai,” sahut ustadz syai’un Mufasir, Lc, “Tapi bahasa Jawa tidak diakui dunia internasional, apalagi diakui sebagai bahasa ilmu.”
    “Ah itu soal hegemoni saja dari bahasa para penjajah yang memposisikan kedudukan lebih tinggi dibanding bahasa para inlander tersubordinasi. Dan kami, warga bangsa yang merdeka, lebih yakin dengan keunggulan bahasa kami sendiri daripada bahasa asing yang ternyata sangat sederhana sistemnya bahkan i bersifat hegemonik-doktriner,” kata Guru sufi.

Comments