Singkong


Sudah tiga jam hujan tak kunjung reda. Terlihat sepasang suami-istri berdiskusi tentang singkong. Memang mereka baru saja menyantap singkong rebus.
“Bayangkan kalau semua orang menganti beras dengan singkong” kata yang lelaki.
“Memangnya kenapa?” tanya sang perempuan penasaran.
“Dengan mengkonsumsi singkong orang bisa menghemat uang, orang kecil seperti kita ini tak akan merasa tercekik, meski harga beras melangit. Bayangkan. Jika para petani padi menganti tanamannya dengan singkong. Mengingat singkong adalah jenis tanaman yang mudah ditanam, meski ditanah yang kadar airnya rendah tetap tumbuh. Daripada negara kita meng-impor beras terus. Sudah saatnya kita memikirkan singkong sebagai aset bangsa yang berharga.”
“Tapi, citra singkong tidak cocok dengan citra dasi. Sudah jelas bahwa singkong kurang bergengsi. Makanan orang desa !!!”
Mendengar kata-kata itu, lelaki paruh baya itu berfikir sejenak. Disulutnya sebatang rokok. “Image desa kan atau kota? Bergensi atau tidak? Itu semua kan bisa di bentuk, Cuma masalah pencitraan !!! kamu tentu ingat Paidi kan? pejabat yang tersandung korupsi, dulu wajahnya hampir selalu menghiasi halaman koran. Dipuja oleh banyak orang, Bagaimana dia bilang bahwa korupsi adalah tindakan yang melanggar hukum negara dan agama.  Bahkan sebulan sebelum ia di tangkap Polisi, dia masih membagikan uang pada orang miskin dan itu diberitakan hampir semua media. Lagi-lagi ini Cuma masalah pencitraan.”
Senja turun diantara riuh hujan. Terlihat dari jendela hujan masih belum menunjukan tanda-tanda akan reda, percakapan kedua kekasih itu terus berjalan. Mereka berdua adalah pasangan suami istri yang baru setahun menikah. Yang lelaki bernama Samsul, sedang yang perempuan bernama Alimah. Mereka tinggal disebuah rumah sempit di daerah perkotaan Jakarta. Meski mereka hanya lulusan SMA tapi mereka sering berdiskusi tentang makanan asli Indonesia mulai dari Jengkol, petai pun sudah pernah mereka bicarakan.
Samsul banyak memperoleh pengetahuan tentang makanan-makanan dari internet, sebelum menikah dengan Alimah, ia bekerja disalah satu warung internet.
“Pendapatmu memang benar,” kata Alimah mengiyakan, “Tapi apakah orang-orang sependapat denganmu?”
“Loh, apanya yang perlu diragukan lagi?  Semua bagian pada tanaman singkong dapat dimanfaatkan, mulai dari batang hingga daun. Akarnya bisa diolah menjadi pelbagai panganan yang enak dan nilainya sangat ekonomis, batangnya bisa dikelola dan dijadikan minyak obat luka, daunnya bisa diubah menjadi avtur berguna untuk bahan bakar pesawat terbang. Itu yang ku ketahui dari membaca tulisan disalah satu situs di internet.”
“Apakah kamu yakin? Kalau semua omonganmu di atas benar. Lantas kenapa kebanyakan orang lebih suka Hamburger ketimbang singkong?”
“Tentu. Semua itu berdasarkan penelitian dan pengamatan. Soal hamburger itu karena bangsa kita selalu mengangap bahwa semua yang dari luar itu baik dan bergengsi. Hingga singkong kala pamornya. Ini sebenarnya masalah sederhana saja. Hidup sudah semakin sulit. Ukuran-ukuran keberhasilan semakin melambung. Akibatnya, terlalu banyak orang yang merasa hidupnya tidak berguna dan sia-sia jika tidak mampu memenuhi ukuran-ukuran itu. Inilah orang-orang yang kalah, orang yang sial. Meskipun sudah berusaha sampai hampir mati nasibnya tetap terpuruk. Mereka harus dihibur.”
“Aku tidak faham. Bagaimana caranya seorang terhibur dengan singkong?” Alimah mengaruk kepalanya, meski sebenarnya tidak gatal. Dia mencoba berfikir keras tapi tetap saja kebingungan.
“Aduh. Masak kamu belum faham juga?” Samsul kesal meski Alimah sudah dijelaskan panjang lebar tetap saja tidak faham. Asbak rokok pun sudah penuh terisi latung rokok. “Maksudnya...” Samsul mulai menjelaskan, “disadarkan bahwa kebahagian bisa diraih tanpa harus memakai dasi, melainkan dengan makan singkong rebus dengan sambal. hmmmm”
Telpon berdering, telpon gengam Samsul dimeja menghentikan percakapan mereka. Telpon dari seorang teman lama, menanyakan kabar, kesibukan, seperti kebanyakan pertanyaan orang yang lama tak jumpa. Lima menit berlalu dan percakapan berahir.
Alimah masih ingat, sebelum ia dan suaminya tinggal di kota Jakarta. Ia adalah seorang petani, mengarap lahan warisan orang tua. Sampai ahirnya ia beserta suaminya memutuskan untuk mencari peruntungan di Jakarta.
“O ya sampai di mana diskusi kita tadi?” Samsul mencoba mengingat, sekaligus menyadarkan Alimah dari lamunan.  
“Tentang dasi dan singkong”
“Jadi kamu sepakat tidak dengan apa yang ku katakan tadi?”
“hmmm Singkong keju, Singkong balado, singkong goreng, singkong susu dan singkong..... Bukan begitu? hehehe” Alimah seolah bercanda. Petanda sepakat dengan apa yang dikatakan samsul.
“Tepat sekali” samsul tersenyum, mengetahui Alimah sudah mulai faham dengan jalan fikirannya.
Sudah hampir satu jam mereka membicarakan tentang singkong. Hujan reda bersamaan dengan berahirnya diskusi mereka. Malam menjemput, bergegas Samsul pergi ke belakang rumahnya untuk mempersiapkan gerobak jualan. Semua peralatan dan bahan jualan sudah berada di gerobak. Tempat jualan samsul sendiri terletak di sekitar perkantoran, Gerobaknya sendiri berukuran 1 x 1 setengah meter, yang warnanya didominasi warna merah dan di atas gerobaknya tertulis Hamburger Mini.    

*Cerpen ini untuk Seno Gumilar Ajidarma 

Comments