Bunga Gui dan Sinar Mentari


Oleh: Mariani Dewi

Tepat pada saat ia mengulangi kalimat “My name is Kirana. Nice to meet you.” Lonceng tanda masuk berbunyi.

Kirana dan teman-temannya pun berlarian memasuki kelas. Sebuah papan kecil bertuliskan IIIA terpasang di atas pintu ruangan itu.
Hari ini adalah hari istimewa yag sudah mereka nanti-nantikan selama seminggu. Kelas mereka akan kedatangan seorang murid baru yang berasal dari China.

“Teman baru ini tidak fasih berbahasa Indonesia. Dia biasa berbahasa Inggris dan bahasa China. Nanti kalian bisa saling belajar ya,” kata Bu Murni, wali kelas mereka, saat mengumumkan hal ini minggu lalu.

Makanya hari ini Kirana dan teman-temanya sibuk berlatih bahasa Inggris. Tak lama kemudian Bu Murni masuk. Seorang anak perempuan mengikutinya. Tak seperti mata Kirana yang besar dan bulat, mata anak itu kecil dan tipis. Kulitnya tak secoklat kulit kirana yang berkilauan. Tetapi rambutnya dikepang dua seperti rambut Kirana dan pipinya juga sama bulatnya.

Anak-anak pun mulai berbisik-bisik penasaran. Bu Murni segera memperkenalkan gadis kecil ini. “Mulai hari ini Wang Gui Hua akan bergabung dengan kita. Ayahnya baru saja ditugaskan di kilang minyak di dekat sini. Gui Hua baru setahun berada di Indonesia, jadi bahasa Indonesianya masih kurang lancar. Ayo Gua Hua, perkenalkan dirimu.”

“Halo. Namaku Gua Hua. Umurku sembilan tahun. Aku dari Beijing di China,” katanya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata dan terdengar lucu.
Karena kemampuan bahasa Inggris Kirana paling bagus di kelas, Bu Murni menyuruh Gua Hua duduk di samping Kirana. “Kamu tunjukkan sekolah kita kepada dia ya,” pesan Bu Murni kepada Kirana.

Ketika jam istirahat, Kirana pun membawa Gui Hua berkeliling sekolah. “Gua Hua, this is ehmm.... perpustakaan,” terang Kirana. 

Gui Hua melongok ke dalam dan berseru, “Oh...library!”

“Yes, library,” kata Kirana sambil tersipu-sipu.

Mereka lalu melongok ke semua ruangan. Kirana sebenarnya ingin bercerita tentang sekolah mereka, tetapi dia tidak tahu bagaimana mengatakannya dalam bahasa Inggris. Untunglah ketika mereka sampai di halaman sekolah, Gua Hua terlihat sangat bersemangat melihat murid-murid bermain. Ada yang bermain kelereng, ada yang bermain congklak, ada pula yang berlomba lari.

Rupanya teman-teman dari kelas IIIA sedang bermain lompat tali karet. Kirana pun langsung unjuk gigi. Selincah seekor rusa, dia melompati tali karet yang dipegang setinggi dada itu. Mereka pun meminta Gui Hua untuk mencoba.

Gui Hua mengambil ancang-ancang dan melompat. Hop. Hampir saja muka Gui Hua mencium tanah. Ternyata kakinya tersangkut di tali karet. “Difficult.... I almost lose my nose,” kata Gui Hua yang tertawa sambil menepuk-nepuk roknya yang kotor.
Anak-anak ikut tertawa dan semua jadi bersemangat mengajari Gui Hua lompat tali. Mereka melompat berkali-kali agar Gui Hua dapat menirunya.
Sejak saat itu mereka sering bertukar permainan. Mereka mengajari Gui Hua bekel dan kelereng. Gui Hua mengajari mereka cara melipat kertas menjadi bentuk bunga dan katak. Ketika katak ditekan pantatnya, katak pun melompat.

Gui Hua juga mengajari Jian Ji. Dia membawa bola kecil yang mirip bola bulu tangkis. Kepalanya terbuat dari kepingan karet berbentuk koin. Empat lembar bulu berwarna hijau terang tertancap di atasnya.
Dia melempar bola ke udara, lalu meyepaknya ke atas sebelum bola jatuh ke lantai. Bola melambung lagi. 
Kirana juga mulai mencobanya. Satu kali...dua kali...eh bolanya jatuh.

Bu Murni mendatangi mereka karena melihat keramaian itu. “Oh kalian sedang bermain sepak kenchi? Sekarang bahkan sudah ada kompetisi internasionalnya juga,” kata Bu Murni menjelaskan.

Kirana pun bercita-cita jadi atlit kenchi yang terkenal. Gui Hua sih lebih suka menjadi atlet lompat tinggi agar bisa melompati semua rintangan lompat karet.
Perlahan-laha Gui Hua lancar berbahasa Indonesia,  walaupun dia masih sering meyisipkan kata-kata bahasa Inggris dan Mandarin. Dia bercerita bahwa ayahnya menamainya bunga Gui ketika melihat bunga sedang bermekaran ketika Gui Hua lahir. Bunga Gui sangat indah.
Kirana pun menjelaskan namanya berasal dari bahasa Sansekarta, India. Artinya cahaya matahari. 

“Pantas wajah Kirana selalu bersinar seperti matahari,” celetuk Gui Hua.

“Pantas saja Gui Hua canti seperti bunga Gui,” sambar Kirana.

Walau berasal dari dua negara berbeda, kedua gadis ini sudah merasa sama. Minggu pagi ketika Kirana baru pulang dari jalan pagi dengan Ayah dan Bunda, Gui Hua datang dengan papa mamanya.
Ayah dan Bunda segera menyuguhkan teh manis dan kue baru dibeli. 
“Kami akan pindah lagi karena tugas saya. Kami sedih karena Gui Hua dan Kirana terpaksa berpisah. Padahal, ini pertama kalinya Gui Hua punya teman yang begitu baik. Apakah boleh Kirana kami jadikan anak angkat? Kami berharap mereka bisa menjadi saudara, ” kata papa Gui Hua.

“Bersaudara?” Kirana dan Gui Hua berteriak kegirangan.

“Boleh ya, Yah?” Kirana segera merayu ayah.

Tentu saja Ayah dan Bunda menyetujui. “Jadi siapa yang menjadi kakak?” tanya Bunda.

“Tak perlu ada yang memanggil kakak, kami kan kembar yang satu bermata sipit, satunya bundar?” kata ayah menggoda mereka.

Mereka semua tertawa senang. Ternyata biar pun berasal dari dua negeri yang berbeda, kita tetap bisa menjadi keluarga.

*Penulis Cerita Anak, Tinggal di Tangerang. Tulisan ini saya ambil dari koran Kompas , minggu 15 mei 2011 


Comments