Pluralisme ala Pesantren


 Lagi, lagi, dan lagi. Kasus kekerasan mengatas namakan agama terjadi kembali. Klaim kebenaran atas agama (sendiri) dan mengangap agama orang lain salah (sesat) membuat seseorang dengan mudah melakukan kekerasan. Kasus di Cikeusik Banten bisa di jadikan contoh dimana klaim kebenaran atas agamanya dijadikan landasan untuk melakukan kekerasan bahkan meng-halal-kan pembunuhan atas orang-orang yang di anggap sesat.
 
Keberaneka ragaman agama, suku, ras, dan budaya yang ada, membuat Indonesia rentan akan perpecahan. Maka seyogyanya pemerintah harus bisa menjadi tembok pertahanan pertama atas hal tersebut bukan malah menjadi penyambung kekuatan agama mayoritas. Sebab, Undang-undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berekspresi semua warga negara termasuk jemaah Ahmadiyah Indonesia.

            Terus apa hubungannya Pluralisme dengan pesantren? Kita tahu pesantren merupakan instusi tempat di ajarkannya ilmu umum dan agama. Sewaktu saya mondok di salah satu pesantren di Lamongan saya sangat merasakan perbedaan budaya di antara kami (santri) mengingat banyak teman-teman saya yang berbeda latarbelakangnya mulai dari Ambon, Papua, Madura, Kalimantan, Jawa Dsb 

            Namun Kami mengangap perbedaan itu sebagai sebuah anugrah yang patut di syukuri bukan malah di jadikan konflik. Bagi kami memaknai kedamaian bukan sekedar ikut pada acara agama lain melainkan mengambil nilai-nilai baik yang ada dalam agama tersebut. Agama tidak semestinya dijadikan api untuk memancing sebuah konflik, sebab setiap agama memiliki relativitas kebenaran masing-masing. Sehingga memaksakan kebenaran adalah satu sikap yang sangat jauh dari kebenaran itu sendiri.

            Salah satu hal yang di terapkan di kebanyakan pesantren adalah pengunaan ayat atau hadist yang lebih bersifat toleransi antar sesama serta pemahaman tentang kebenaran relatif semisal dalam (QS. Al-Maidah/5: 48)   yang artinya :
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." 

Jadi sudah seharusnya perbedaan itu ada, tanpa ada perbedaaan orang tak akan mengerti dirinya sendiri . namun sekarang ini Fanatisme terhadap agama atau pengkultusan terhadap seseorang masih diartikan secara sempit sehingga jika ada sesuatu yang berbeda maka kekerasan di jadikan sebuah jalan yang di-halal-kan.

Dialog
perbedaan yang banyak terjadi bukan untuk di hindari melainkan harus di temukan jalan tenggahnya, Dialog bisa dijadikan solusi untuk menghindari konflik baik horizontal maupun vertikal selain itu juga dialog dapat dijadikan sarana pendewasaan diri dalam menghadapi perbedaan.
maka sepatutnya semboyan Bhineka Tunggal Ika di jadikan sebuah falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Seperti dalam online perpustakaan Indonesia Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
 
 *Tulisan ini dulu saya buat sebagai Syarat mengikuti workshop Pluralisme

Comments