Subuh Pantai


Mengulas malam, menanti pagi. Subuh datang bersama rindu ombak pada daratan. Seperti kepulangaku, pada masa daratan t' bermain dengan air. Aku pantai kesunyian.

Mentari belum muncul tapi sudah banyak mata yang menanti, kaki mencari jejak ombak semalam saat kejenuhan dilempar tanpa rasa. Melebur bagai butir pasir, berceceran. Ah. Kubiarkan saja begitu. Biar saja sejarah yang tahu atau hilang bersama angin ini, jadi debu kehidupan. Tak usah ribet merangkai kata. Biar huruf tegak sendiri.

Tikar yang ku sewa semalam sudah tampak kusut pun dengan wajahku. Tikar ini milik "wanita senja", Miris aku melihatnya, Pukul 01.00 ia masih mengikuti pengunjung yang datang, tak tampak kelelahan menumpang di wajahnya meski ia tampak ringkih membawa beberapa tikar beserta sebuah senter kecil. Hanya untuk beberapa lembar uang ribuan. 

"Tiker nak? bisa dipakai untuk duduk biar nggak kotor" Katanya menawari"berapa mbah?" 
"7000 nak""nggeh mbah"
"Nanti kalau sudah, bawa ke Gubuk itu ya" ditunjuknya bangunan yang terbuat dari anyaman bambu dengan atap daun kering.

Masih belum muncul? sudah 5 jam berlalu tapi tetap saja kau masih bersembunyi. Keramaian membuatku malas menanti. Pulang. Di jalanan ku temukan dirimu mengintip dari belakang rimbun pohon. Mentari.Jalanan tampak kabur. Dan aku hilang bersama ocehan-ocehan burung. 


Comments