INDIVIDU UNIK: BEBAS NILAI?

Setelah menulis tentang sosok Bapak Kurdi, saya berfikir jangan-jangan sudah mau menjadi malaikat. Atau dalam bahasa yang agak ekstrim: ‘Tuhan Kecil’. Mengetahui seluk beluk Bapak Kurdi (dari mulai pikiran dan tindakannya) melalui mata, telingga, dan pikiran saya sendiri.

Di tenggah-tenggah Kebaktian di Gereja SYP, saya merasa gamang. Saya ibarat tokoh Janir dalam novel Ular Keempat (2005) karya Gus TF Sakai. Janir dikisahkan sebagai pengusaha rumah makan Padang yang sukses di perantauan. Juragan yang membawahi banyak anak semang. Untuk kedua kalinya Janir menunaikan rukun Islam yang kelima yakni haji. Predikat kehajian Janir memunculkan kegelisahan teologis yang dialaminya seumpama belitan ular yang sewaktu-waktu bakal ‘mencokot’ atau bisa menancapkan bisa di tubuhnya. Ia ingat bagaimana predikat haji saat hidup di kampung. Ibadah haji tak ubahnya upacara pembaiatan derajat keberagamaan sebuah keluarga, sebuah silsilah. Peran kehajian nyaris bergeser dari kepasrahan akan ridho Tuhan menjadi sayembara meraih harkat keberibadahan yang pantas disanjung, dipuja-puji. Dalam psikis yang sedang goyah itu, Janir beroleh semacam ‘ilham’ dari guru Muqri yang di jumpainya di tanah suci.

Diceritakan, guru Muqri pernah berjanji pada kehajian Janir yang pertama, bila ia masih terpanggil berhaji pada kali kedua, guru Muqri akan memberinya tiga cerita, tiga kisah. Maka, janji pun ditepati. Kisah pertama bertutur tentang pemburuan para hamba mengejar syafaat malam kemulian, malam yang lebih baik dari seribu bulan, lailatul qadar. Berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. Berburu. Serupa kesetanan. Tak peduli dengan lingkungan, ada hidup dan kematian di sekitarnya. Mereka ngebut dalam kesendiriannya. Beribadah demi surga mereka sendiri. Ini dia Ular pertama; Egoisme. Gigitannya tak merusak raga, tak pula menyakitkan. Tapi kebuasannya menjabik-cabik jiwa, melunturkan keikhlasan. Mungkinkah iman akan bersitubuh di atas tabiat egoistik yang meluap-luap?. Kisah kedua, manakala Janir menjadikan kehajiannya sebagai kebanggaan. Menjadi pembeda antara yang berpeci putih dengan yang berpeci hitam. Ini dia Ular kedua: Kebanggaan. Riya’. Sum’ah. Takabur. Gigitannya tak menghancurkan daging, tapi membinasakan keberpasrahan. Setan besar. Lebih besar dari Jumratul Aqabah. Kisah ketiga, dianalogikan sebuah layang-layang putus tali dan orang-orang memperebutkannya dengan sebuah kepemimpinan. Sebelum layang-layang jatuh menyentuh tanah, kayu-kayu galah lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah setiap orang berhak atas layang-layang tersebut.  mereka tak beroleh apa-apa selain bangkai layang-layang itu. Patah-patah, remuk, cerai berai. Begitulah negera. Semua orang merasa berhak memiliki. Bila satu kelompok gagal, kelompok lain juga tak boleh memiliki. Ini dia Ular ketiga; Rakus. Tamak. Lalim.

Sesampai di tanah air, ia beroleh seekor ular lagi; Ular keempat. Janin berniat haji lagi tahun depan. Berlayar ke tanah suci lagi. Tak peduli anak-anak semang, tetangga-tetangga melarat, para fakir dan dhuafa. Janir ‘ketagihan’ digigit ular. (Damhuri Muhammad;Darah-Daging  Sastra Indonesia. 2010)

Saya ibarat Janir yang sedang digigit Ular pertama; Egoisme. Melihat seseorang dari kacamata sendiri. Saya jarang men’coba’ menyelami pribadi seseorang lebih dalam. Hingga mengerti kegetiran/kepahitan dari jiwanya. Saya masih takut untuk sekedar mencicipi kegetiran itu. Sampai sekarang, saya masih senang melihat seseorang hanya dari tindakan luarnya. Padahal saya sering lihat/dengar/baca,  “jangan melihat sebuah buku hanya dari cover-nya saja”. Meminjam pendapat Eriyanto, dalam buku Analisis Wacana, yang terpenting dari sebuah teks bukan soal apa yang tulis. Tapi, bagaimana teks itu di produksi?.

Keunikan tiap individu wajib disyukuri. Bukankah kebaikan dan kejahatan harus seimbang? Paling tidak ada kedua-duanya? Salah satu adegan filem Batman –Lupa judulnya-, di mana terjadi perkelahian antara Batman (Simbol Kebaikan) dan Joker (Simbol Kejahatan). Saat Batman diujung kemenangan, sedang Joker sedang berhadapan dengan kematian. Batman malah menolong Joker. Batman sadar, bahwa ia tidak akan ada, kalau Joker juga tidak ada.

Saya menulis dalam blog ini dengan ‘ketakutan’, menyamarkan nama atau tempat yang menjadi obyek tulisan. Saya takut, bila suatu saat orang yang saya tulis ‘kejelekannya’ membaca tulisan saya. Saya takut jika ada kata yang menusuk hati. Katanya, lidah (kata) lebih tajam dari pedang. Saya tiba-tiba menyadarkan diri pada sebuah yang dianggap baik. Malu. Malu adalah sebagian dari iman. Ular Kedua sudah mulai menyebarkan bisa-nya kedalam tubuh saya.

Apakah keunikan setiap individu, lantas menjadikan kita bebas menafsirkannya?                         

Comments