MENCARI JATI DIRI; Pencarian Yang Tak Pernah ‘Usai’


“Man ‘arafa Nafsahu
Faqad ‘arafa Rabbahu”

   Dewasa ini, persoalan mengenal diri sendiri menjadi hal yang paling serius dihadapi tiap individu. Krisis Identitas. Saya teringat sebuah buku berjudul “Dunia Sophie” karangan Jostein Gaarder, diceritakan di bab pertama dalam buku bergenre ‘Novel Filsafat’ ini, si tokoh utama, bernama Sophie, suatu ketika mendapat sebuah surat -tanpa nama pengirim yang jelas-, singkat cerita, ketika ia membuka surat itu, isinya sebuah pertanyaan; Siapakah kamu?

Lantas bagaimana kita mengenal diri kita sendiri? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang sangat panjang dan mungkin tak terhenti pada satu titik. Bukankah tuhan berkata, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Siapa yang menemukan diri-nya, niscaya bakal menemukan Tuhannya)?

Dahulu saat wali sanga menyebarkan agama Islam di Nusantara, hal pertama yang dilakukan bukan mengajarkan agama Islam itu sendiri, melainkan pada pembentukan manusianya. Jadi, yang lebih ditekankan adalah bagaimana membentuk seorang manusia ‘insan kamil’. Secara tidak langsung, manusia yang sudah terintegritas pribadinya nanti akan belajar agama dengan sendirinya. Kita bisa lihat dari epos-epos Nusantara seperti La Galigo atau wayang carangan; yang mana lebih pada pembentukan seorang manusia utama. 

Menurut M.Jadul Maula, setidaknya ada 10 unsur dalam diri manusia yang jika di integritaskan, bukan tidak mungkin seorang tersebut akan mengenal dirinya. 10 unsur tersebut yakni 1.Nafas, 2.Pendengaran, 3.Penglihatan, 4.Lidah, 5.Kulit, 6.Keseimbangan, 7.Perasaan, 8.Pikiran, 9.Batin, dan 10. Ruh.

Kesepuluh unsur tersebut harus diintergritaskan dengan benar. Hubungan pertama, Unsur nomer 1 (Nafas) harus terhubung dengan 9 (Batin). Nafas adalah unsur yang mengajarkan seseorang untuk sabar. Apapun keadaan kita (bangun,lari, tidur, dll) nafas senantiasa keluar teratur. Dalam wayang, nafas dipersonifikasikan sebagai Yudhistira. Yudhitira adalah tokoh pandawa yang memiliki ajian Kalimasada, kalimasada sendiri tak lain adalah kalimat syahadat. Maka dari itu, seorang yang dalam bernafas, batinnya harus selalu mengingat/menyebut tuhan. Hubungan yang baik ini akan melahirkan keadaan hening dan akan menuntun seseorang pada cahaya tuhan. Sebaliknya, jika tidak dapat terhubung dengan baik, seseorang cenderung merasa ‘gelap’ hidupnya-tidak dapat petunjuk tuhan-. Nafas memiliki sifat hanya menerima sesuatu yang berbau harum. Manakala ada bau busuk, secara otomatis tangan kita akan menutup hidung.

Hubungan kedua adalah antara nomer 2 (Pendengaran) dan 8 (Pikiran). Di wayang, pendengaran dipersonifikasikan sebagai Bima. Dalam buku “Serat Dewa Ruci” karya Imam Musbikin (Diva Press: 2011) diceritakan, Begawan Druna -bermaksud mencelakakan- memerintahkan Bima untuk bertemu Dewa Ruci, mencari ‘Air Kehidupan’.  Sang guru Druna mengatakan bahwa ‘Air Kehidupan’ itu terdapat di dasar lautan. Ketika memasuki lautan tersebut, dia diserang seekor ular besar yang hampir membunuhnya, tetapi dengan kekuatan kuku pancanaka, dia dapat mengalahkan ular tersebut. Setelah membuka mata, dia melihat makhluq seperti dirinya, tetapi dalam ukuran kecil, yang tak lain adalah Dewa Ruci. Dewa Ruci meminta Bima masuk ke dalam telinga kirinya, saat di dalam tubuh Dewa Ruci, Bima menemukan dirinya berada dalam dunia yang mengagumkan, damai, dan indah. Di mana ia merasa sangat nyaman.

Dalam kebudayaan Jawa ada namanya Kawruh kasampurnan atau kawruh sangkan paran yang bertujuan penghayatan tentang yang ada, kesatuan dengan hakikat Ilahi dan pamoring kawula Gusti. Jalan untuk mencapainya adalah dengan tata susila, tapa-brata, dan semadi. Di samping itu, ada ngelmu kesempurnaan yang merupakan pathining agama Islam ialah ilmu hakikat makrifat. Semua itu merupakan usaha untuk memperoleh hubungan langsung, berdialog, menerima ajaran rahasia, dan kemudian manunggal dengan sang Adikodrati.

Kalau dalam kesenian, ada yang namanya kesenian Panji Tengkorak, di mana musiknya berirama/memiliki tempo cepat namun gerakan penarinya lamban. ‘seolah-olah’ tidak selaras, namun sebenarnya memiliki filosofi bahwasanya arus  informasi yang cepat jangan sampai kita tenggelam di dalamnya. Ngeli ning ojo keli.

Adanya integritas antara pendengaran dan pikiran akan membuat kita mampu hening, atau dalam tingkatan tertentu, bukan tidak mungkin seseorang mampu menerima ‘ajaran rahasia’ dari sang Kholiq. Sebaliknya, jika tidak mampu terhubung dengan baik, orang itu akan cenderung bingung/linglung. Dengar gosip tentang dirinya, langsung muncul sifat benci. Atau dapat informasi tertentu tanpa dipikirkan dahulu dan langsung marah.

Hubungan ketiga, antara nomer 3 (penglihatan) dan 7 (perasaan). Ada sebuah pameo terkenal, cinta turun dari mata ke hati. Hal ini karena kebanyakan kita cinta sesuatu berawal dari melihat, yang kemudian lahirlah rasa suka. Entah pada orang maupun benda. Penglihatan cenderung suka pada hal-hal yang indah, makanya mata dipersonifikasikan sebagai tokoh Arjuna, sosok yang tampan rupawan. Dalam filsafat ada aliran positivisme, yang mengangat sesuatu hal berarti itu hanya proposisi analitik yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Apa yang kita lihat, bisa menjadi tolak ukur suatu kebenaran. Hubungan ketiga ini harus dihubungkan juga dengan Pikiran. Pikiran dimaksudkan untuk menjadi penyaring atas apa yang kita lihat dan rasakan.

Keselarasan di antara hubungan tersebut, menjadi seseorang bisa mencapai keadaan yang sama dengan hubungan kedua; Hening. Namun akan muncul keadaan resah, galau, bingung jika tidak terhubung dengan baik.

Hubungan keempat, antara nomer 4 (Lidah) dan 6 (keseimbangan). Letak keseimbangan sendiri berada di antara leher belakang dan kepala. Itu juga kenapa jika ada orang yang dipukul di bagian leher belakang ia akan hilang keseimbangan. Lantas apa hubungan lidah dengan keseimbangan? Kita tahu bahwa lidah adalah panca indera yang memiliki fungsi perasa. Identifikasi rasa makanan asin, manis, pahit dll. Semua ini tak akan berfungsi manakala kita sedang sakit. Keseimbangan tergangu. Semua makanan atau minuman menjadi hambar bahkan cenderung satu rasa; Pahit. Dari situ bisa diketahui, bahwa sebenarnya lidah itu hanya pelaksana atas tindakan-tindakan yang diperintahkan oleh hubungan yang sudah dijabarkan di atas –hubungan kedua dan ketiga-. Dalam wayang, lidah dipersonifikasikan sebagai Nakula. Saudara kembar Sadewa ini memiliki keahlian meramu obat dan sangat teliti. namun, ia lebih pada pelaksana atas ide-ide Yudhistira-Bima-Arjuna.

Hubungan terakhir, Kelima, antara nomer 5 (Kulit) dan 10/0 (Ruh). Jika kulit adalah lapisan pelindung tubuh yang terluar, maka ruh adalah ‘isi’ dari tubuh itu sendiri. Hampir sama dengan hubungan keempat, hubungan ini juga bisa dikatakan sebagai pelaksana. Semua hubungan di atas berimplikasi pada hubungan ini. Kulit kalau dalam wayang dipersonifikasikan sosok Sadewa.   

Selain mengali jati diri melalui unsur kesepuluh di atas, ada pandangan yang menarik mengenai konsep ‘manusia’ di masyarakat Bugis, dalam Jurnal yang diterbitkan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan[1] dikatakan, pada umumnya manusia Bugis itu mempunyai pandangan bahwa yang disebut “manusia” itu ialah yang “mempunyai rasa malu”. Atau dalam bahasa Bugis-nya Iyami riaseng tau taroie siri’ ale’na (adapun yang disebut manusia itu ialah yang menaruh malu pada dirinya). Perkataan siri’ selain berarti malu, juga berarti harkat dan martabat. Bila orang Bugis akan merantau, hal yang sering dipesankan adalah Akkalitutuiwi siri’mu rilaomu (waspadai malumu di perantauan).

Pandangan ini membuat saya teringat sebuah Hadist Nabi, yang artinya, malu adalah sebagian dari Iman. Malu dalam hal ini kaitannya dengan melakukan perbuatan buruk/jahat. Oleh dari itu, konsepsi ‘malu’ orang Bugis dan hadist Nabi memiliki kesamaan. Barangkali ini juga menjadi semacam etos orang Bugis ketika merantau. Meminjam perkataan Radhar Panca Dahana, mari menziarahi diri sendiri.

Diakhir tulisan ini Saya ingin sedikit mengutip sepenggal puisinya Jalaluddin Rumi;

Wahai pejalan!
Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji,
ayolah datang, dan datanglah lagi!
Karena Tuhan telah berfirman:
"Ketika engkau melambung ke angkasa
ataupun terpuruk ke dalam jurang,
ingatlah kepada-Ku,
karena Aku-lah jalan itu.




[1] .Jurnal Bingkisan Bunga Rampai Budaya Sulawesi Selatan. No.1&2 Tahun 1999. Terbitan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. hal.158-159

Comments